Pertanyaan:
Ada pasien keguguran dan melakukan kuretase, darah selalu keluar setelah keguguran yang kemungkinan karena terjadi infeksi, usia kehamilan saat keguguran sekitar 6 pekan. Karena darah terus keluar maka pasien tersebut tidak shalat dan tidak melakukan hal-hal yang dilarang bagi orang nifas, bagaimana penjelesan mengenai hal ini? Apakah darah yang keluar pasca keguguran adalah darah nifas?
بسم الله والحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه ومن والاه.
Jumhur ulama sepakat mengatakan bahwa darah yang keluar pasca keguguran setelah kehamilan berusia lebih dari 4 bulan atau setelah janin mulai berbentuk manusia darah tersebut adalah darah nifas, sehingga wanita tersebut dilarang melakukan hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh orang nifas seperti shalat, puasa, berhubungan suami istri dan larangan-larangan lainnya.
Ulama berbeda pendapat tentang darah yang keluar pasca keguguran pada usia kehamilan kurang dari 80 hari dan janin belum berbentuk manusia, apakah itu darah nifas atau bukan.
Jika janin yang keguguran sudah mulai berbentuk manusia misalnya sudah mulai terlihat jari-jarinya maka darah yang keluar pasca keguguran adalah darah nifas, dan jika belum mulai berbentuk manusia misalnya masih berbentuk segumpal darah atau daging maka itu bukanlah nifas. Akan tetapi jika darah yang keluar itu mungkin darah haid maka darah yang keluar dianggap darah haid, dan jika tidak mungkin darah haid misalnya karena belum melewati masa suci secara sempurna maka darah tersebut dianggap isithadlah. Ini adalah pendapat imam Abu Hanifah[1]Al-Mabsūth, As-Sarakhsi (3/213)
Maka menurut pendapat ini jika janin yang keguguran belum berbentuk manusia, darah yang keluar pasca keguguran tersebut tidak dikatakan nifas tapi dikatakan darah istihadlah, sehingga seorang wanita tetap wajib melaksanakan shalat dengan berwudlu setiap kali akan shalat, wajib berpuasa Ramadhan dan boleh berpuasa sunah, boleh berhubungan suami istri dan boleh melakukan hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh wanita yang sedang nifas, kecuali jika darah yang keluar berkemungkinan darah haid maka darah itu dikatakan darah haid.
Darah yang keluar pasca keguguran dikatakan darah nifas jika janin yang keguguran minimal sudah berbentuk segumpal darah di mana ketika segumpal darah tersebut disiram dengan air panas tidak encer. Ini adalah pendapat Malikiyah[2]Asy-Syarhu Al-Kabīr li Ad-Dardīr wa Hāsyiyatu Ad-Dasūqī (2/474) .
Jadi menurut pendapat ini jika seorang wanita keguguran dan janin sudah berbentuk segumpal darah yang tidak encer ketika disiram air panas maka darah yang keluar pasca keguguran tersebut adalah darah nifas dan dia dilarang melakukan apa pun yang tidak boleh dilakukan oleh wanita yang sedang nifas sampai darah berhenti keluar atau mencapai batas maksimal masa nifas.
Darah yang keluar pasca keguguran dikatakan nifas, baik janin keluar dalam keadaan hidup atau mati, baik yang keluar berupa daging yang sudah mulai berbentuk manusia atau tidak. Ini adalah pendapat Syafi’iyyah[3]Al-Majmū’ Syarh Al-Muhażżab (2/532) , menurut pendapat ini definisi darah nifas adalah: Darah yang keluar setelah pengosongan rahim dari kehamilan[4]Nihāyatu Al-Muhtāj ilā Syarh Al-Minhāj (1/323) .
Jadi jika dalam rahim sudah dipastikan ada kehamilan lalu mengalami keguguran maka darah yang keluar pasca keguguran tersebut adalah darah nifas tanpa melihat bentuk janin yang keluar juga tanpa melihat usia kandungan[5]Lihat fatwa Dār Al-Ifta’, Jordan. Sehingga menurut pendapat ini darah yang keluar pasca keguguran dan pengosongan rahim dari kehamilan setelah dipastikan itu adalah kehamilan maka darah yang keluar adalah darah nifas, wanita tersebut dilarang melakukan hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh orang yang sedang nifas seperti shalat, puasa, berhubungan suami istri dan larangan-larangan lainnya sampai darah nifasnya berhenti atau mencapai batas maksimal masa nifas.
Darah yang keluar pasca keguguran dikatakan darah nifas apabila janin yang keguguran sudah mulai berbentuk manusia, kebanyakan janin mulai berbentuk manusia ketika usia kandungan sudah mencapai 3 bulan, dan usia kandungan minimal di mana janin sudah mulai berbentuk manusia adalah 81 hari. Jika janin yang keluar masih berbentuk segumpal darah atau daging tapi belum terlihat bentuk manusia atau usia kehamilan belum mencapai 80 hari darah yang keluar pasca keguguran tersebut tidak dikatakan nifas akan tetapi itu adalah darah istihadlah. Ini adalah pendapat yang sahih dalam mazhab Hanabilah[6]Al-Inshāf, Al-Mardawi (2/481), Lihat situs islamqa.info.
Dengan demikian menurut pendapat ini jika seorang wanita mengalami keguguran ketika janin belum berbentuk manusia dengan usia kehamilan minimal 80 hari maka darah yang keluar pasca keguguran tidak dikatakan nifas dan wanita tersebut boleh melakukan apa pun yang dilarang dilakukan oleh wanita yang sedang nifas seperti shalat, puasa, berhubungan suami istri dan lainnya sampai darah berhenti atau mencapai batas maksimal masa nifas.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz berpendapat bahwa dikatakan nifas jika janin yang keluar sudah mulai berbentuk manusia walaupun samar, beliau juga berpendapat darah yang keluar pasca keguguran yang terjadi pada usia kehamilan 2-3 bulan tidak dikatakan nifas sebab biasanya dalam usia kehamilan tersebut belum berbentuk manusia, beliau menjadikan adanya bentuk manusia sebagai patokan apakah darah yang keluar pasca keguguran dikatakan nifas atau tidak, sehingga darah yang keluar pasca keguguran di mana janin belum berbentuk manusia sama sekali tidak dikatakan nifas akan tetapi dikatakan istihadlah[7]Majmū’ Fatāwā wa Maqālāt Mutanawwi’ah (29/130), lihat situs resmi Syaikh bin Baaz .
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata: “Tidak ada hukum nifas kecuali seorang wanita melahirkan janin yang sudah berbentuk manusia, jika dia hanya melahirkan gumpalan kecil yang belum berbentuk manusia maka itu bukanlah darah nifas akan tetapi hanya darah keringat dan hukumnya seperti hukum istihadlah, usia minimal janin mulai berbentuk manusia adalah 80 hari sejak mulai hamil dan kebanyakan pada usia 90 hari.”[8]Majmū’ Fatāwā wa Rasā’il Al-Utsaimin (11/327)
Maka darah yang keluar pasca keguguran sebelum janin mulai berbentuk manusia sekali pun samar-samar di mana biasanya janin mulai terbentuk pada usia kandungan minimal 80 hari bukanlah darah nifas melainkan darah istihadlah, sehingga wanita tersebut boleh melakukan hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh wanita yang sedang nifas dan dia tetap wajib shalat serta puasa Ramadan.
Istihadlah adalah darah yang keluar bukan pada masa haid dan nifas, seperti darah yang keluar sebelum seorang wanita memasuki usia haid, atau darah yang keluar melewati batas maksimal masa haid dan nifas di mana ulama ulama berbeda pendapat tentang batas maksimal keduanya.
Mazhab Hanafiah[9]Fathu Al-Qadīr, Ibnu Al-Humam (1/162) mengatakan bahwa batas maksimal masa haid adalah 10 hari, jika melewati masa itu maka itu istihadlah.
Sedangkan mayoritas ulama seperti imam Malik[10]Al-Muntaqā, Al-Baji (1/124) , Asy-Syafi’i[11]Nihāyatu Al-Muhtāj (1/326) , dan Ahmad[12]Al-Mughnī, Ibnu Qudamah (1/224) mengatakan bahwa batas maksimal haid adalah 15 hari, jika darah masih keluar setelah melewati masa itu maka itu adalah darah istihadlah.
Beberapa ulama juga mengatakan bahwa tidak ada batas maksimal untuk masa haid, ini merupakan salah satu riwayat dari imam Malik[13]At-Tamhīd, Ibnu Abdi Al-Barr (16/72) , ini juga merupakan pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiah[14]Al-Fatāwā Al-Kubrā (5/314) , Asy-Syaukani[15]As-Sailu Al-Jarrār (89) , Al-Albani[16]Silsilatu Al-Ahādīts Adl-Dla’īfah (3/609) No. 1415, Al-Utsaimin[17]Asy-Syarhu Al-Mumti’ (5/31)
Mazhab Hanafiyah[18]Badāi’ Ash-Shanāi’ (1/41) dan Hanabilah[19]Al-Mughnī, Ibnu Qudamah (1/250) , mengatakan bahwa batas maksimal masa nifas adalah 40 hari, ini adalah pendapat yang dipilih oleh Ibnu Abdi Al-Barr[20]Al-Istidzkār (1/355) , Asy-Syaukani juga condong pada pendapat ini[21]Nailu Al-Authār (1/352) , sebagian ulama mengecualikan jika darah yang keluar bertepatan dengan kalender haid, maksudnya jika setelah 40 hari darah masih keluar dan itu bertepatan dengan kebiasaan wanita tersebut haid maka itu dianggap darah haid[22]Situs Islamqa.info.
Adapun imam Malik dan mayoritas mazhab Syafi’iyyah mengatakan bahwa batas maksimal masa nifas adalah 60 hari[23]Al-Majmū’ Syarh Al-Muhażżab (2/524) .
Al-Lajnah Ad-Dā’imah menguatkan pendapat yang mengatakan bahwa maksimal masa nifas adalah 40 hari, setelah 40 hari maka darah yang keluar adalah darah istihadlah, mereka mengatakan:
“Darah yang keluar setelah 40 hari bukan darah nifas akan tetapi darah istihadlah, maka setelah 40 hari hendaknya wanita tersebut mandi, shalat dan puasa, hendaknya dia berwudlu setiap kali akan shalat dan meletakkan pembalut atau sejenisnya ke farjinya agar darah tidak menetes.”[24]Fatāwā Al-Lajnah Ad-Dā’imah (5/457)
As-Syaukani juga mengatakan bahwa semua pendapat selain yang berpendapat batas maksimal masa nifas 40 hari tidak memiliki dalil kecuali hanya praduga saja[25]Nailu Al-Authār (1/352) , sedangkan yang mengatakan maksimal masa nifas 40 hari memiliki dalil yang jelas yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah di mana dia berkata:
«كانت النفساء تجلس على عهد رسول الله ﷺ أربعين يوما»
“Para wanita yang sedang nifas di zaman Rasulullah ﷺ duduk berdiam diri selama 40 hari.”[26]Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (1/256) No. 139
Wanita istihadlah memiliki aturan hukum yang sama persis dengan wanita yang sedang dalam keadaan suci, tidak ada perbedaan sama sekali kecuali dalam beberapa hal berikut:
Seorang wanita yang keguguran sebelum janinnya berbentuk manusia atau sebelum kehamilan berusia 80 hari dan mengira dirinya nifas sehingga dia meninggalkan shalat, apakah dia harus mengqadla atau mengganti shalat yang dia tinggalkan selama mengira dia nifas? Syaikh Ibnu Baaz berkata:
“Jika saudari ingin menqadlanya untuk kehati-hatian maka itu boleh, jika tidak maka insyaAllah saudari tidak berdosa sebab saudari meninggalkan shalat karena adanya syubhat di mana saudari mengira tidak wajib melaksanakannya....... Jika saudari ingin menqadlanya maka tidak mengapa tetapi itu tidaklah wajib sebab ketika itu saudari tidak mengetahui hukumnya.... akan tetapi saudari wajib bertobat dan lebih hati-hati ke depannya.”[28]Majmū’ Fatāwā wa Maqālāt Mutanawwi’ah (29/130)
والله تعالى أعلى وأعلم
↲1 | Al-Mabsūth, As-Sarakhsi (3/213) |
---|---|
↲2 | Asy-Syarhu Al-Kabīr li Ad-Dardīr wa Hāsyiyatu Ad-Dasūqī (2/474) |
↲3 | Al-Majmū’ Syarh Al-Muhażżab (2/532) |
↲4 | Nihāyatu Al-Muhtāj ilā Syarh Al-Minhāj (1/323) |
↲5 | Lihat fatwa Dār Al-Ifta’, Jordan |
↲6 | Al-Inshāf, Al-Mardawi (2/481), Lihat situs islamqa.info |
↲7 | Majmū’ Fatāwā wa Maqālāt Mutanawwi’ah (29/130), lihat situs resmi Syaikh bin Baaz |
↲8 | Majmū’ Fatāwā wa Rasā’il Al-Utsaimin (11/327) |
↲9 | Fathu Al-Qadīr, Ibnu Al-Humam (1/162) |
↲10 | Al-Muntaqā, Al-Baji (1/124) |
↲11 | Nihāyatu Al-Muhtāj (1/326) |
↲12 | Al-Mughnī, Ibnu Qudamah (1/224) |
↲13 | At-Tamhīd, Ibnu Abdi Al-Barr (16/72) |
↲14 | Al-Fatāwā Al-Kubrā (5/314) |
↲15 | As-Sailu Al-Jarrār (89) |
↲16 | Silsilatu Al-Ahādīts Adl-Dla’īfah (3/609) No. 1415 |
↲17 | Asy-Syarhu Al-Mumti’ (5/31) |
↲18 | Badāi’ Ash-Shanāi’ (1/41) |
↲19 | Al-Mughnī, Ibnu Qudamah (1/250) |
↲20 | Al-Istidzkār (1/355) |
↲21 | Nailu Al-Authār (1/352) |
↲22 | Situs Islamqa.info |
↲23 | Al-Majmū’ Syarh Al-Muhażżab (2/524) |
↲24 | Fatāwā Al-Lajnah Ad-Dā’imah (5/457) |
↲25 | Nailu Al-Authār (1/352) |
↲26 | Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (1/256) No. 139 |
↲27 | Risālah fī Ad-Dimā’ Ath-Thabī’iyyah li An-Nisā’ (46) |
↲28 | Majmū’ Fatāwā wa Maqālāt Mutanawwi’ah (29/130) |