Pertanyaan:
Benarkah ada pendapat yang mengatakan bahwa suci dari najis bukan syarat sah shalat?
بسم الله والحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه ومن والاه.
Perlu diketahui bahwa ulama berbeda pendapat apakah suci dari najis merupakan syarat sah shalat atau bukan?
Bahwa bersih atau suci dari najis merupakan syarat sah shalat, ini adalah pendapat jumhur ulama dari mazhab Hanafiyah[1]Badāi’ Ash-Shanāi’’ (1/114) , salah satu pendapat dalam mazhab Malikiyah[2]Asy-Syarhu Al-Kabīr, Ad-Dardīr (1/201), Al-Muntaqā, Al-Baji (1/41) , pendapat Syafi’iyyah[3]Al-Majmū’ Syarh Al-Muhażżab (3/131-132) , dan Hanabilah[4]Kasysyāf Al-Qinā’ (1/288), Al-Mughnī, Ibnu Qudamah (2/48) bahkan Ibnu Abdi Al-Barr mengatakan ini merupakan ijma’ ulama[5]At-Tamhīd (22/242) , tetapi pengakuan adanya ijma’ ini perlu ditelaah ulang sebab terdapat perbedaan pendapat yang kuat dalam masalah ini.
Dalil pertama: Firman Allah ﷻ:
﴿وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ﴾
“Dan pakaianmu hendaknya engkau sucikan.”[7]Al-Muddatstsir (4)
Bahwa perintah untuk menyucikan pakaian dalam ayat tersebut adalah ketika hendak digunakan untuk shalat, sebab ulama sepakat bahwa menyucikan pakaian di luar shalat hukumnya tidaklah wajib.
Dalil kedua: Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas:
مر النبي صلى الله عليه وسلم بحائط من حيطان المدينة، أو مكة، فسمع صوت إنسانين يعذبان في قبورهما، فقال النبي صلى الله عليه وسلم: «يعذبان، وما يعذبان في كبير» ثم قال: «بلى، كان أحدهما لا يستتر من بوله، وكان الآخر يمشي بالنميمة»
"Nabi ﷺ melewati satu perkebunan dari sekian banyak perkebunan di Madinah atau Makkah, lalu beliau mendengar suara dua orang yang sedang disiksa di dalam kubur mereka. Kemudian Nabi ﷺ bersabda: ‘Keduanya sedang disiksa, dan tidaklah keduanya disiksa disebabkan oleh dosa besar (dalam padangan mereka).’ Lalu beliau bersabda: ‘Ya, salah satu dari mereka disiksa karena tidak bersuci setelah kencing, sementara yang satunya lagi disiksa karena suka mengadu domba.’"[8]Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (1/53) No. 216 dan Muslim (1/240) No. 292
Imam An-Nawawi berkata: “Sebab keduanya dikatakan dosa besar adalah bahwasanya tidak membersihkan kencing meniscayakan tidak diterimanya shalat sehingga meninggalkannya tidak diragukan lagi bahwa itu adalah dosa besar.....”[9]Al-Minhāj Syarh Shahīh Muslim Ibn Al-Hajjāj (3/201)
Dalil ketiga: Hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah di mana Rasulullah ﷺ bersabda:
«فإذا أقبلت الحيضة فاتركي الصلاة، فإذا ذهب قدرها، فاغسلي عنك الدم وصلي»
“Jika haid datang maka tinggalkanlah shalat, dan jika waktunya telah berlalu maka cucilah darahnya dan shalatlah.”[10]Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (1/68) No. 306 dan Muslim (1/262) No. 333
Yang menyebabkan darah haid wajib dibersihkan sebelum shalat adalah karena ia najis, maka demikian juga hukum ini berlaku kepada benda-benda najis yang lain.[11]Al-‘Ināyah Syarh Al-Bidāyah (1/192)
Dalil keempat: Hadits yang menceritakan seorang Arab Badui kencing di masjid di mana Rasulullah ﷺ bersabda:
«دعوه، وأهريقوا على بوله ذنوبا من ماء»
“Biarkanlah dia, setelah itu siramlah kencingnya dengan seember air.”[12]Diriwayatkan oleh Al-Bukhari 8/30 (6128)
Dalil kelima: Rasulullah ﷺ bersabda:
«إذا جاء أحدكم إلى المسجد فلينظر: فإن رأى في نعليه قذرا أو أذى فليمسحه وليصل فيهما»
"Apabila salah seorang di antara kalian datang ke masjid maka hendaklah dia memperhatikan: Apabila melihat kotoran di kedua sandalnya maka hendaklah ia mengusapnya dan shalatlah dengan mengenakan keduanya.”[13]Diriwayatkan oleh Abu Daud (1/175) No. 650
Bahwa suci dari najis bukan syarat sah shalat, ini merupakan salah satu pendapat dalam mazhab Malikiyah[14]Mawāhibu Al-Jalīl fī Syarh Mukhtashar Khalīl (1/131), At-Tāj wa Al-Iklīl li Mukhtashar Khalīl (1/188) yang diriwayatkan dari imam Malik[15]Al-Muntaqā, Al-Baji (1/41), Nailu Al-Authār, (2/139) , Asy-Syaukani juga menyandarkan pendapat ini ke imam Asy-Syafi’i dalam al-qaul al-qadiim dan pendapat inilah yang dipilih oleh Asy-Syaukani[16]Nailu Al-Authār, (2/139) .
Tentang apakah ini sunah atau wajib, serta penafsiran mereka tentang apa yang dimaksud sunah dan wajib di sini telah dibahas panjang lebar oleh ulama Malikiyah dalam kitab-kitab mereka, jika ingin lebih jelas silakan membaca kitab rujukan Malikiyah seperti kitab Asy-Syarhu Al-Kabīr, Al-Muntaqā, At-Tamhīd dan kitab-kitab lainnya.
Dalil Pertama: Hadits diriwayatkan oleh Abu Said Al-Khudri
عن أبي سعيد الخدري، قال: بينما رسول الله ﷺ يصلي بأصحابه إذ خلع نعليه فوضعهما عن يساره، فلما رأى ذلك القوم ألقوا نعالهم، فلما قضى رسول الله ﷺ صلاته، قال: «ما حملكم على إلقاء نعالكم»، قالوا: رأيناك ألقيت نعليك فألقينا نعالنا، فقال رسول الله ﷺ: «إن جبريل صلى الله عليه وسلم أتاني فأخبرني أن فيهما قذرا - أو قال: أذى -» وقال: «إذا جاء أحدكم إلى المسجد فلينظر: فإن رأى في نعليه قذرا أو أذى فليمسحه وليصل فيهما»
Abu Sa'id Al-Khudri berkata: “Ketika Rasulullah ﷺ sedang menjadi imam shalat bagi para sahabat tiba-tiba beliau melepas kedua sandalnya dan meletakkannya di sebelah kirinya. Ketika orang-orang melihat hal itu mereka pun melempar sandal-sandal mereka. Setelah Rasulullah ﷺ selesai shalat beliau bertanya: ‘Apa yang membuat kalian melempar sandal-sandal kalian?’ Mereka menjawab: ‘Kami melihatmu melempar kedua sandalmu, maka kami pun melempar sandal kami.’ Beliau bersabda: ‘Sesungguhnya Jibril mendatangiku dan memberitahuku bahwa di kedua sandalku ada kotoran.’ Kemudian beliau bersabda: ‘Apabila salah seorang di antara kalian datang ke masjid maka hendaklah dia memperhatikan: Apabila melihat kotoran di kedua sandalnya maka hendaklah ia mengusapnya dan shalatlah dengan mengenakan keduanya.’”[20]Diriwayatkan oleh Abu Daud (1/175) No. 650
Hadits ini menunjukkan bahwa shalat tetap sah sekalipun ada najis di badan atau di pakaian, oleh karenanya Rasulullahﷺ tetap melanjutkan shalat dan tidak mengulang dari awal, jika suci dari najis adalah syarat sah shalat niscaya Rasulullah ﷺ akan mengulangnya dari awal.
Dalil Kedua: Tidak ada dalil yang menunjukkan bersih dari najis adalah syarat sah shalat.
Mereka mengatakan tidak ada dalil yang menyatakan bahwa suci dari najis merupakan syarat sah shalat, sementara semua dalil yang disampaikan oleh pendapat pertama tidak ada satu pun yang menunjukkan bahwa suci dari najis merupakan syarat sah shalat, semua dalil itu maksimal menunjukkan bahwa bersih dari najis hukumnya wajib dalam shalat dan bukan syarat sahnya. Artinya jika seseorang shalat dalam kondisi najis maka dia berdosa karena tidak menjalankan kewajiban membersihkan najis namun shalatnya tetap sah.
Asy-Syaukani berkata: “Maksimal yang ditunjukkan oleh dalil-dalil tersebut adalah hukum wajib (suci dari najis), dan wajib adalah sesuatu di mana orang yang melakukannya berhak mendapatkan pahala dan yang meninggalkannya berhak mendapatkan hukuman. Namun demikian sesuatu yang wajib tersebut tidak mesti menjadi syarat, hanya saja orang yang meninggalkannya berdosa, namun itu bukanlah syarat yang tiadanya meniscayakan ketiadaan sesuatu yang lain.”
Beliau melanjutkan: “Jika Anda telah mengetahui hal ini maka Anda pun akan mengetahui bahwa sucinya badan dari dua hadats merupakan syarat sah shalat karena adanya dalil yang mensyaratkannya, adapun sucinya badan dari najis jika saja terdapat dalil yang menunjukkan bahwa ‘Tidak ada shalat bagi orang yang shalat sedangkan pada badannya terdapat najis’ atau ‘Tidak diterima shalat bagi orang yang pada badannya terdapat najis’ atau terdapat larangan untuk mendekati shalat bagi orang yang pada badannya terdapat najis di mana larangan tersebut menunjukkan tidak sah, jika dalil-dalil tersebut ada maka bisa dibenarkan beristidlal dengan dalil-dalil tersebut untuk mengatakan bahwa sucinya badan dari najis merupakan syarat sah shalat, jika dalil-dalil tersebut tidak ada maka istidlal pun tidak bisa, sedangkan dalam masalah ini tidak ada satu pun yang menunjukkan bahwa suci dari najis merupakan syarat sah shalat; karena sesungguhnya perintah untuk membersihkan kencing dan bahwa kebanyakan adzab kubur disebabkan oleh hal ini tidak menunjukkan apa pun kecuali hanya menunjukkan wajibnya membersihkan kencing sehingga orang yang shalat sedangkan di badannya terdapat najis maka dia berdosa namun shalatnya tidak batal.”[21]As-Sailu Al-Jarrār (98)
Jadi menurut pendapat ini semua perintah untuk bersuci dari najis maksimal menunjukkan hukum wajib, dan hukum wajib tidak mesti menjadi syarat; karena menetapkan sesuatu sebagai syarat merupakan hukum syar’i wadl’i di mana hal itu tidak bisa ditetapkan kecuali dengan penjelasan syari’ secara gamblang bahwa hal itu adalah syarat, atau adanya pengaitan perbuatan dengan fi’il syarat, atau meniadakan perbuatan tertentu tanpanya.[22]Ahkāmu An-Nisā', Abu Malik Muhammad bin Hamid (77)
والله تعالى أعلى وأعلم.
↲1 | Badāi’ Ash-Shanāi’’ (1/114) |
---|---|
↲2 | Asy-Syarhu Al-Kabīr, Ad-Dardīr (1/201), Al-Muntaqā, Al-Baji (1/41) |
↲3 | Al-Majmū’ Syarh Al-Muhażżab (3/131-132) |
↲4 | Kasysyāf Al-Qinā’ (1/288), Al-Mughnī, Ibnu Qudamah (2/48) |
↲5 | At-Tamhīd (22/242) |
↲6 | Mawāhibu Al-Jalīl fī Syarh Mukhtashar Khalīl (1/131), Al-Majmū’ Syarh Al-Muhażżab (3/132) |
↲7 | Al-Muddatstsir (4) |
↲8 | Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (1/53) No. 216 dan Muslim (1/240) No. 292 |
↲9 | Al-Minhāj Syarh Shahīh Muslim Ibn Al-Hajjāj (3/201) |
↲10 | Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (1/68) No. 306 dan Muslim (1/262) No. 333 |
↲11 | Al-‘Ināyah Syarh Al-Bidāyah (1/192) |
↲12 | Diriwayatkan oleh Al-Bukhari 8/30 (6128) |
↲13 | Diriwayatkan oleh Abu Daud (1/175) No. 650 |
↲14 | Mawāhibu Al-Jalīl fī Syarh Mukhtashar Khalīl (1/131), At-Tāj wa Al-Iklīl li Mukhtashar Khalīl (1/188) |
↲15 | Al-Muntaqā, Al-Baji (1/41), Nailu Al-Authār, (2/139) |
↲16 | Nailu Al-Authār, (2/139) |
↲17 | Asy-Syarhu Al-Kabīr, Ad-Dardīr (1/69) |
↲18 | Al-Muntaqā, Al-Baji (1/41) |
↲19 | Nailu Al-Authār (2/141) |
↲20 | Diriwayatkan oleh Abu Daud (1/175) No. 650 |
↲21 | As-Sailu Al-Jarrār (98) |
↲22 | Ahkāmu An-Nisā', Abu Malik Muhammad bin Hamid (77) |
↲23 | Situs Islamweb |