Melihat Bekas Mani tapi Tidak Ingat Kapan Mimpi Basah

15 Agustus 2021
Baca 5 menit
2328 Views

Daftar Isi

Pertanyaan:

Pernah suatu hari saya melihat di pakaian saya terdapat bekas mani, tapi saya tidak tahu pasti dan tidak ingat sejak kapan itu ada dan kapan saya mimpi basah. Saya tidak tahu apakah mimpi basah saya terjadi tadi malam, atau kemarin lusa, atau seminggu yang lalu, apakah bagaimana hukum shalat yang telah saya lakukan? Jika tidak sah maka shalat apa saja yang harus saya ulang sementara saya tidak tahu mimpi basahnya sejak kapan? Terima kasih.


Pertama: Tentang hukum orang yang melihat mani tapi tidak ingat kapan mimpi basah.

Jika seseorang melihat bekas mani pada pakaiannya namun dia tidak ingat kapan dia mimpi basah, maka mani tersebut dianggap berada di sana sejak tidur terakhirnya, kecuali jika ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa mani itu keluar di tidur sebelum-sebelumnya; karenanya dia harus mengulang semua shalat yang dia lakukan sejak bangun dari tidur terakhirnya, namun jika ada tanda yang menunjukkan mimpi itu terjadi pada tidur sebelum-sebelumnya maka dia wajib mengulang shalat dari tidur sebelumnya yang dia curigai dia bermimpi basah di tidur tersebut. Penjelasan lebih rinci tentang orang yang shalat dalam kondisi berhadats bisa Anda baca pembahasan shalat dalam kondisi berhadats atau junub karena lupa.

Kedua: Kaidah fiqh yang menjelaskan tentang hal tersebut.

الأصل إضافة الحادث إلى أقرب أوقاته

“Hukum asal sesuatu yang baru kejadiannya dinisbahkan pada waktu terdekatnya.” [1]Al-Mumti’ fī Al-Qawā’id Al-Fiqhiyyah (137)

Makna dari kaidah ini adalah: Bahwasanya kaidah yang berlaku di dalam syariat jika terdapat satu hal yang baru yang mungkin telah terjadi di waktu yang lama dan mungkin juga baru saja terjadi sedangkan tidak bukti atau tanda-tanda pasti kapan satu hal itu terjadi maka hal tersebut dianggap terjadi dalam waktu terdekat.

Kaidah ini erat hubungannya dengan kaidah:

الأصل في الأمور العارضة العدم

“Hukum asal sesuatu yang baru itu tidak ada.”[2]Al-Mumti’ fī Al-Qawā’id Al-Fiqhiyyah (133)

Hubungan antara kedua kaidah tersebut adalah: “Bahwa asal segala sesuatu yang baru itu tidak ada, jika kemudian sesuatu yang baru itu ada namun tidak jelas kapan itu terjadi di mana mungkin saja telah terjadi sejak lama dan mungkin juga baru terjadi sedangkan tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan kapan itu terjadi maka dianggap baru saja terjadi, sebab pada asalnya sesuatu yang baru itu tidak ada.”

Selain erat hubungannya dengan kaidah di atas, kaidah ini juga erat hubungannya dan merupakan cabang dari kaidah:

اليقين لا يزول بالشك

“Keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan keraguan.”[3]Al-Mumti’ fī Al-Qawā’id Al-Fiqhiyyah (113)

Artinya, jika kita yakin akan sesuatu kemudian setelah itu timbul keraguan, maka yang kita pegang adalah yang telah kita yakini.

Lalu apa kaitan kaidah tersebut? Kaitannya adalah:

Sesuatu yang baru pada asalnya tidak ada, dan itu adalah hal yang meyakinkan berdasarkan kaidah:

الأصل في الأمور العارضة العدم

Kemudian jika sesuatu yang baru tersebut ada namun kita tidak tahu pasti kapan itu terjadi, apakah sudah lama atau sudah baru saja terjadi, maka kejadian tersebut dianggap baru terjadi pada waktu terdekat, hal ini berdasarkan kaidah:

الأصل إضافة الحادث إلى أقرب أوقاته

Kenapa dinisbahkan pada waktu terdekatnya? Sebab sebelumnya kita yakin bahwa sesuatu yang baru itu tidak ada sebelum terjadi, dan ketika sudah terjadi namun tidak pasti kapan kapan sesuatu yang baru tersebut terjadi maka kejadiannya dinisbahkan kepada waktu terdekat; hal ini karena terjadinya sesuatu yang baru dalam waktu yang lama adalah hal yang meragukan sedangkan terjadinya sesuatu tersebut di waktu terdekat adalah hal yang meyakinkan, maka yang kita pegang adalah yang meyakinkan berdasarkan kaidah:

اليقين لا يزول بالشك

Ketiga: Contoh penerapan kaidah tersebut dalam kehidupan sehari-hari

Kaidah ini banyak sekali diterapkan dalam kehidupan kita sehari-hari, berikut saya sertakan beberapa contoh untuk memperjelas kaidah tersebut:

  1. Jika seseorang melihat ada bekas mani pada pakaiannya dan dia tidak ingat kapan dia mimpi basah, maka adanya mani ini dinisbahkan kepada tidur terakhir yang dia lakukan sehingga dia wajib mandi dan mengulang semua shalat yang dia lakukan sejak tidur itu. Misalnya dia menyadari ada bekas mani setelah isya dan tidur terakhirnya adalah sebelum subuh hari itu, maka dia wajib mengulang semua shalat yang dia lakukan sejak bangun dari tidur terakhirnya, dalam hal ini shalat subuh, dzuhur, asar, maghrib dan isya. Jika tidur terakhirnya adalah sebelum asar hari itu, maka dia wajib mengulang shalat asar, maghrib dan isya. Kecuali jika ada tanda-tanda lain yang menunjukkan bahwa dia bermimpi pada tidur sebelumnya, misalnya saat tidur sebelum malam subuh dia memakai pakaian berwarna biru dan saat tidur siang sebelum asar dia memakai pakaian berwarna putih, dia mendapati bekas mani tersebut pada pakaian yang berwarna biru yang tidak dia pakai saat tidur siang sebelum aasar, maka itu menunjukkan bahwa mani tersebut keluar bukan pada saat tidur siang, sebab saat tidur siang dia tidak mengenakan pakaian tersebut. Hal ini karena keluarnya mani adalah sesuatu yang baru di mana sebelumnya tidak ada, sehingga jika kita tidak tahu kapan keluarnya maka kita menisbahkannya pada waktu terdekat.[4]Al-Mughnī, Ibnu Qudamah (1/149)
  2. Jika seorang memukul perut wanita yang sedang hamil kemudian tiba-tiba dia melahirkan dan bayinya dalam keadaan meninggal, maka kematian bayi tersebut dinisbahkan kepada pukulan orang tersebut karena itu adalah waktu terdekat dengan kematiannya sehingga dia wajib bertanggung jawab atas kematiannya. Akan tetapi jika bayi tersebut lahir dalam keadaan selamat dan sehat dan hidup dalam waktu yang lama tanpa menderita sakit akibat pukulan itu, lalu setelah lama bayi tersebut tiba-tiba meninggal maka kematiannya tidak dinisbahkan kepada pukulan orang tersebut, tetapi dinisbahkan pada sebab-sebab lain yang paling dekat dengan kematiannya.
  3. Jika seseorang membeli laptop kemudian dia mengaku bahwa di laptopnya terdapat cacat yang sudah ada sejak belum dibeli dengan tujuan agar bisa mengembalikan laptop tersebut kepada penjual, tetapi penjual membantah dan mengatakan bahwa cacat tersebut tidak ada sebelum dijual dan bahwa cacat tersebut baru terjadi, maka yang dapat diterima dalam permasalahan ini adalah perkataan penjual dengan sumpahnya, hal itu karena cacat adalah satu hal yang baru di mana pada asalnya semua barang bebas dari cacat dan sesuatu yang baru dinisbahkan kepada waktu terdekatnya kecuali jika ada tanda-tanda yang menunjukkan itu terjadi di waktu sebelumnya.[5]Al-Mumti’ fī Al-Qawā’id Al-Fiqhiyyah (137-138)
  4. Jika seseorang seorang istri mengaku bahwa suaminya menceraikannya di saat suaminya sakit menjelang kematiannya, namun ahli waris yang lain mengatakan bahwa istri tersebut sudah diceraikan saat suaminya masih sehat, maka yang kuat dalam hal ini adalah perkataan si istri, sebab hukum asalnya suatu hal yang baru dinisbahkan pada waktu terdekatnya.

Contoh-contoh di atas hanya untuk memperjelas kaidah dan bukan merupakan batasan, contoh-contoh untuk penerapan kaidah ini bisa dibilang tidak terbatas jumlahnya.


Kesimpulan:

  • Kaidah “Hukum asal sesuatu yang baru kejadiannya dinisbahkan pada waktu terdekatnya” erat hubungannya dengan kaidah-kaidah yang lain, salah satunya adalah ada kaidah “Asal segala sesuatu yang baru tidak ada.”
  • Ketika suatu hal yang baru itu terjadi tapi kita tidak tahu kapan kejadiannya, maka hal baru itu dianggap terjadi pada waktu terdekat, kecuali jika ada tanda yang menunjukkan itu terjadi di waktu yang lebih lama.
  • Terjadinya sesuatu yang baru di waktu yang lama adalah yang meragukan, dan terjadinya sesuatu tersebut di waktu terdekat adalah hal yang meyakinkan, maksud yakin di sini adalah kita yakin bahwa itu sudah ada di waktu terdekat namun kita ragu apakah itu sudah terjadi sebelumnya, maka yang kita pegang adalah yang yakin dan mengabaikan yang meragukan.

والله تعالى أعلى وأعلم

Referensi

Referensi
1Al-Mumti’ fī Al-Qawā’id Al-Fiqhiyyah (137)
2Al-Mumti’ fī Al-Qawā’id Al-Fiqhiyyah (133)
3Al-Mumti’ fī Al-Qawā’id Al-Fiqhiyyah (113)
4Al-Mughnī, Ibnu Qudamah (1/149)
5Al-Mumti’ fī Al-Qawā’id Al-Fiqhiyyah (137-138)
Tags: , , ,

Penulis: Mohammad Ridwanullah

Founder www.zaad.my.id | Author | Web Developer | Alumni Darul Ihsan Sana Daja & Ma'had Al-Ittihad Al-Islami Camplong. Melanjutkan pendidikan S1 Fakultas Syariah di LIPIA Jakarta. Melanjutkan pendidikan S2 di Fakultas Syariah jurusan Fiqh dan Ushul Fiqh di LIPIA Jakarta.

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

file-adduserslaptop-phoneclockdownloadmagnifiercrossmenulistchevron-leftchevron-right linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram