Pertanyaan:
Jika seseorang shalat dalam kondisi najis karena tidak tahu atau lupa bahwa pakaian, tempat atau di badannya ada najis, apakah harus mengulang shalatnya?
بسم الله والحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه ومن والاه.
Perlu diketahui bahwa terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama apakah suci dari najis merupakan syarat sah shalat atau bukan? Ringkasnya:
Sebagian dari ulama yang mengatakan suci dari najis bukan syarat sah shalat seperti Asy-Syaukani menyatakan bahwa orang yang shalat dalam kondisi najis shalatnya tetap sah sekalipun dia melakukannya dengan sengaja, lebih-lebih jika tidak tahu atau lupa dan melakukannya tanpa sengaja. Untuk lebih jelasnya silakan baca pembahasan seputar perbedaan pendapat ulama tentang suci dari najis, apakah merupakan syarat sah shalat?
Lalu bagaimana menurut pendapat mayoritas ulama yang mengatakan bahwa suci dari najis adalah syarat sah shalat, apakah orang yang shalat dalam kondisi najis karena tidak tahu atau lupa harus mengulang shalatnya?
Shalat dalam keadaan najis seperti ketika di badan atau pakaian atau di tempat shalat terdapat najis ada dua kondisi:
Jika di tengah-tengah shalat dia tahu atau ingat akan adanya najis:
Orang yang tidak tahu atau lupa akan adanya najis dan baru menyadari setelah selesai shalat, apa hukumnya? Dalam hal ini ulama berbeda pendapat.
Mengatakan bahwa shalatnya sah dan tidak perlu mengulang, baik karena tidak tahu atau karena lupa. Ini merupakan pendapat Ibnu Umar, Atha’, Sa’id bin Al-Musayyib, Az-Zuhri, Ishaq bin Rahuyah, Ibnu Al-Mundzir[3]Al-Mughnī, Ibnu Qudamah (2/49) , pendapat Asy-Syafi’i dalam al-qaulu al-qadīm[4]Al-Majmū’ Syarh Al-Muhażżab (3/132), Al-Bayān fī Madzhabi Al-Imām Asy-Syāfi’ī (2/108) serta pendapat yang dipilih oleh imam An-Nawawi[5]Al-Majmū’ Syarh Al-Muhażżab (3/157), Kifāyatu Al-Akhyār (92) dan pendapat imam Ahmad dalam salah satu riwayat darinya[6]Al-Mughnī, Ibnu Qudamah (2/49) .
Ibnu Qudamah berkata: “Jika dia shalat kemudian melihat ada najis pada badan atau pakaiannya maka shalatnya sah; hal ini karena pada asalnya najis tersebut tidak ada ketika shalat.”[7]Al-Mughnī, Ibnu Qudamah (2/49)
Dalil pendapat ini adalah hadits yang diriwayatkan dari Abu Said Al-Khudri:
عن أبي سعيد الخدري، قال: بينما رسول الله ﷺ يصلي بأصحابه إذ خلع نعليه فوضعهما عن يساره، فلما رأى ذلك القوم ألقوا نعالهم، فلما قضى رسول الله ﷺ صلاته، قال: «ما حملكم على إلقاء نعالكم»، قالوا: رأيناك ألقيت نعليك فألقينا نعالنا، فقال رسول الله ﷺ: «إن جبريل صلى الله عليه وسلم أتاني فأخبرني أن فيهما قذرا – أو قال: أذى -» وقال: «إذا جاء أحدكم إلى المسجد فلينظر: فإن رأى في نعليه قذرا أو أذى فليمسحه وليصل فيهما»
Abu Sa’id Al-Khudri berkata: “Ketika Rasulullah ﷺ sedang menjadi imam shalat bagi para sahabat tiba-tiba beliau melepas kedua sandalnya dan meletakkannya di sebelah kirinya. Ketika orang-orang melihat hal itu mereka pun melempar sandal-sandal mereka. Setelah Rasulullah ﷺ selesai shalat beliau bertanya: ‘Apa yang membuat kalian melempar sandal-sandal kalian?’ Mereka menjawab: ‘Kami melihatmu melempar kedua sandalmu, maka kami pun melempar sandal kami.’ Beliau bersabda: ‘Sesungguhnya Jibril mendatangiku dan memberitahuku bahwa di kedua sandalku ada kotoran.’ Kemudian beliau bersabda: ‘Apabila salah seorang di antara kalian datang ke masjid maka hendaklah dia memperhatikan: Apabila melihat kotoran di kedua sandalnya maka hendaklah ia mengusapnya dan shalatlah dengan mengenakan keduanya.’”[8]Diriwayatkan oleh Abu Daud (1/175) No. 650
Ibnu Qudamah berkata: “Seandainya thaharah adalah syarat sah shalat sekalipun dalam kondisi tidak tahu niscaya Rasulullah ﷺ akan mengulang kembali shalatnya dari awal.”[9]Al-Mughnī, Ibnu Qudamah (2/49)
Pendapat ini mengatakan bahwa shalatnya tidak sah dan harus mengulang, ini merupakan pendapat Imam Asy-Syafi’i dalam al-qaulu al-jadīd dan yang paling sahih dalam mazhab Syafi’iyyah[10]Al-Majmū’ Syarh Al-Muhażżab (3/131-132), Al-Bayān fī Madzhabi Al-Imām Asy-Syāfi’ī (2/109) juga merupakan salah satu riwayat dari Imam Ahmad[11]Al-Inshāf, Al-Mardāwi (3/290) .
Sebab suci dari najis merupakan syarat sah shalat di mana syarat tersebut tidak lantas menjadi gugur karena ketidaktahuan kita seperti halnya thaharah dari hadats.[12]Al-Majmū’ Syarh Al-Muhażżab (3/131), Al-Bayān fī Madzhabi Al-Imām Asy-Syāfi’ī (2/109), Al-Mughnī, Ibnu Qudamah (2/49)
Namun demikian ada sebagian ulama Syafi’iyyah yang mengatakan bahwa jika najisnya mungkin terjadi setelah shalat maka dia tidak harus mengulang karena pada asalnya najis tersebut tidak ada, akan tetapi dianjurkan untuk mengulang karena bisa jadi najis tersebut sudah ada ketika shalat, ada pun jika najisnya tidak mungkin terjadi setelah shalat artinya pasti ada sebelum shalat maka terjadi perbedaan sebagaimana pendapat pertama dan kedua dalam pembahasan ini[13]Al-Bayān fī Madzhabi Al-Imām Asy-Syāfi’ī (2/108), Kifāyatu Al-Akhyār (92-93) .
Pendapat ini mengatakan dianjurkan (mustahab) mengulang jika masih dalam waktu shalat, jika sudah di luar waktu shalat maka tidak perlu mengulang. Ini merupakan salah satu pendapat Imam Malik[14]Al-Muntaqā, Al-Baji (1/41) dan pendapat Rabi’ah[15]Al-Mughnī, Ibnu Qudamah (2/49) .
Membedakan antara shalat dalam kondisi najis karena lupa dengan shalat dalam kondisi najis karena tidak tahu, jika shalat dalam kondisi najis karena tidak tahu maka shalatnya sah, sedangkan jika karena lupa maka shalatnya tidak sah dan harus mengulang sebab dia terkesan lalai karena melupakan najis tersebut. Ini merupakan salah satu riwayat dalam mazhab Hanabilah[16]Al-Mughnī, Ibnu Qudamah (2/49) .
Mereka mengatakan bahwa antara lupa dan tidak tahu adalah dua hal yang berbeda; sebab lupa menunjukkan adanya kelalaian di mana sebelumnya dia mengetahui adanya najis kemudian melupakannya, dan lupanya tersebut termasuk tindakan kelalaian[17]Al-Mughnī, Ibnu Qudamah (2/49) .
Pendapat yang kuat adalah pendapat pertama yang mengatakan bahwa orang yang shalat dalam kondisi najis dan baru menyadari setelah selesai shalat maka shalatnya sah dan tidak perlu mengulang, baik karena tidak tahu sama sekali atau karena lupa.
Imam An-Nawawi berkata:
“Jumhur ulama mengatakan tidak perlu mengulang, Ibnu Al-Mundzir mengatakan ini adalah pendapat Ibnu Umar, Ibnu Al-Musayyib, Thawus, Atha’, Salim bin Abdullah, Mujahid, Asy-Sya’bi, An-Nakha’i, Az-Zuhri, Yahya Al-Anshari, Al-Auza’i, Ishaq, dan Abu Tsaur. Ibnu Al-Mundzir berkata: ‘Dan ini adalah pendapatku.’ Ini juga merupakan pendapat Rabi’ah dan Malik, pendapat ini memiliki dalil yang kuat dan pendapat inilah yang saya pilih.”[18]Al-Majmū’ Syarh Al-Muhażżab (3/157)
Ibnu Taimiah berkata: “Jika dia shalat sedangkan di badan atau pakaiannya terdapat najis dan dia tidak mengetahui hal tersebut sampai selesai shalat maka dia tidak wajib mengulang menurut pendapat yang paling sahih dari dua pendapat yang ada, ini adalah mazhab Malik dan yang lainnya, juga mazhab Ahmad dalam riwayat yang paling kuat, serta sama saja apakah dia tahu akan adanya najis kemudian dia lupa atau dia tidak tahu sama sekali; hal ini berdasarkan apa yang telah kita sebutkan sebelumnya bahwa Nabi ﷺ shalat dengan mengenakan kedua sandalnya kemudian beliau melepasnya ketika shalat di saat Jibril memberitahunya bahwa pada sandalnya terdapat kotoran serta beliau tetap melanjutkan shalatnya dan tidak mengulangi dari awal padahal najis tersebut telah berada di sana sejak shalat dimulai tetapi beliau tidak mengetahuinya.”[19]Majmū’ Al-Fatāwā (22/185)
Ibnu Qudamah berkata:
“Yang benar bahwa hukumnya sama (baik karena tidak tahu atau karena lupa); sebab sesuatu yang dimaafkan karena tidak tahu maka dimaafkan juga jika lupa, bahkan lupa lebih dimaafkan dari pada tidak tahu karena adanya nash yang menunjukkan bahwa orang yang lupa dimaafkan yaitu sabda nabi ﷺ ‘Dimaafkan dari umatku jika dia salah atau lupa.’”[20]Al-Mughnī, Ibnu Qudamah (2/50)
Ibnul Qayyim berkata: "Jika dia shalat mengenakan pakaian sedangkan dia tidak mengetahui bahwa pakaian tersebut najis kemudian dia mengetahuinya setelah selesai shalat maka dia tidak perlu mengulang shalatnya."[21]Badāi' Al-Fawā'id (3/258)
والله تعالى أعلى وأعلم.
↲1 | Al-Mughnī, Ibnu Qudamah (2/50) |
---|---|
↲2 | Situs Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz |
↲3 | Al-Mughnī, Ibnu Qudamah (2/49) |
↲4 | Al-Majmū’ Syarh Al-Muhażżab (3/132), Al-Bayān fī Madzhabi Al-Imām Asy-Syāfi’ī (2/108) |
↲5 | Al-Majmū’ Syarh Al-Muhażżab (3/157), Kifāyatu Al-Akhyār (92) |
↲6 | Al-Mughnī, Ibnu Qudamah (2/49) |
↲7 | Al-Mughnī, Ibnu Qudamah (2/49) |
↲8 | Diriwayatkan oleh Abu Daud (1/175) No. 650 |
↲9 | Al-Mughnī, Ibnu Qudamah (2/49) |
↲10 | Al-Majmū’ Syarh Al-Muhażżab (3/131-132), Al-Bayān fī Madzhabi Al-Imām Asy-Syāfi’ī (2/109) |
↲11 | Al-Inshāf, Al-Mardāwi (3/290) |
↲12 | Al-Majmū’ Syarh Al-Muhażżab (3/131), Al-Bayān fī Madzhabi Al-Imām Asy-Syāfi’ī (2/109), Al-Mughnī, Ibnu Qudamah (2/49) |
↲13 | Al-Bayān fī Madzhabi Al-Imām Asy-Syāfi’ī (2/108), Kifāyatu Al-Akhyār (92-93) |
↲14 | Al-Muntaqā, Al-Baji (1/41) |
↲15 | Al-Mughnī, Ibnu Qudamah (2/49) |
↲16 | Al-Mughnī, Ibnu Qudamah (2/49) |
↲17 | Al-Mughnī, Ibnu Qudamah (2/49) |
↲18 | Al-Majmū’ Syarh Al-Muhażżab (3/157) |
↲19 | Majmū’ Al-Fatāwā (22/185) |
↲20 | Al-Mughnī, Ibnu Qudamah (2/50) |
↲21 | Badāi' Al-Fawā'id (3/258) |