Pertanyaan:
Apa hukum hewan yang diberi pakan najis seperti kotoran dan bangkai? Jika tidak diboleh dikonsumsi maka adakah solusinya agar hewan yang diberi pakan najis menjadi halal?
بسم الله والحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه ومن والاه
Dalam sebuah hadiṡ yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dia berkata:
«أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن لبن الجلالة»
“Bahwasanya Nabi ﷺ melarang mengonsumsi susu jallālah”[1]Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (4/270) No. 1825, dia menyatakan hadiṡ ini sahih, imam An-Nawawi juga menyatakan hadiṡ ini sahih, Ibnu Hajar berkata dalam Fathu Al-Bārī (9/649): “Memenuhi … Baca selengkapnya
Dan hadiṡ yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar di mana dia berkata:
«نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن أكل الجلالة وألبانها»
“Rasulullah ﷺ melarang mengonsumsi jallālah dan meminum susunya.”[2]Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (4/270) No. 1824, Al-Albani dalam kitab Shahīh Sunan At-Tirmidzī menyatakan hadiṡ ini sahih.
Serta hadiṡ yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Amr dia berkata:
«أن رسول الله صلى الله عليه وسلم: نهى يوم خيبر عن لحوم الحمر الأهلية، وعن الجلالة، وعن ركوبها، وعن أكل لحمها»
“Bahwasanya Rasulullah ﷺ pada hari Khaibar melarang mengonsumsi daging keledai, dan melarang mengonsumsi jallālah, mengendarainya serta memakan dagingnya.”[3]Diriwayatkan oleh An-Nasa’i (7/239) No. 4447, Ibnu Hajar dalam Fathul Bārī (9/648) menyatakan hadiṡ ini hasan, demikian juga Al-Albani menyatakan hadiṡ ini hasan dalam kitab Shahīh Sunan … Baca selengkapnya
Dari hadiṡ-hadiṡ di atas menjadi jelas bahwa yang dilarang mencakup tiga hal: Memakan daging jallālah, meminum susunya, serta mengendarainya. Jumhur ulama juga menyertakan telur jallālah sehingga telurnya pun dilarang untuk dikonsumsi.[4]Al-Inshāf (27/230), Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah (8/266)
Jallālah adalah hewan yang memakan jillah, dan jillah adalah: Kotoran.[5]Gharību Al-Hadīṡ, Al-Qasim bin Sallam (1/78), Gharību Al-Hadīṡ, Ibnu Qutaibah (1/276)
Abu Daud berkata: “Jallālah adalah binatang yang memakan kotoran”[6]Sunan Abi Daud (3/336) No. 3719
Sedangkan menurut Ibnu Hazm jallālah adalah unta yang memakan kotoran, demikian juga binatang berkaki empat yang lain selain unta, adapun binatang lain yang tidak berkaki empat seperti burung menurut pendapatnya tidak disebut jallālah sekalipun memakan kotoran.[7]Al-Muhallā (6/85)
Namun jumhur ulama mengatakan bahwa semua binatang baik berkaki empat atau tidak jika memenuhi kriteria sebagai jallālah maka hewan itu adalah jallālah.
Imam Ahmad berkata: “Jallālah: Binatang yang memakan kotoran, baik itu binatang melata atau burung.”[8]Masā’il Al-Imām Ahmad, riwayat Abu Daud (345)
Maka jallālah adalah: Sebuah nama yang mencakup segala jenis hewan yang memakan najis atau diberi pakan najis, baik binatang itu berupa unta, sapi, kambing, ayam, angsa, dan binatang lainnya di mana hewan tersebut pada asalnya boleh dikonsumsi.
An-Nawawi berkata: “Jallālah itu bisa berupa: Unta, sapi, kambing, ayam, angsa dan yang lainnya.”[9]Tahrīr Alfāzhu At-Tanbīh (170)
Pakan najisnya hanya sedikit sedangkan mayoritas pakannya suci dan baik, maka yang seperti ini tidak termasuk dalam aturan hukum jallālah.
Al-Khatthabi berkata: “Adapun jika digembala di padang rumput dan binatang-binatang itu memakan biji-bijian, namun ternyata selain makan biji-bijian mereka memakan sedikit kotoran maka itu bukanlah jallālah, itu seperti ayam dan hewan sejenisnya yang kadang memakan sedikit najis sedangkan mayoritas pakannya bukan dari benda najis, maka memakannya tidaklah makruh.”[10]Ma’ālimu As-Sunan (4/244)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata: “Jika hewan-hewan itu memakan yang baik dan yang buruk sedangkan mayoritas pakannya baik maka itu bukanlah jallālah dan mengonsumsinya pun boleh. Ini seperti yang dilakukan oleh sebagian peternak unggas di mana mereka memberinya pakan yang terbuat dari darah yang mengalir di mana itu bukanlah mayoritas pakannya, sementara mayoritas pakannya berasal dari bahan yang suci, akan tetapi mereka memberi pakan yang terbuat dari darah tersebut dengan tujuan membuat hewan-hewan itu lebih kuat dan lebih cepat tumbuh besar maka hewan-hewan itu tidak menjadi haram karenanya juga tidak menjadi makruh; sebab jika mayoritas pakannya baik maka hukum pun berlaku untuk yang mayoritas.”[11]Syarh Riyāḍu Ash-Shālihīn (6/434)
Pakannya mayoritas najis di mana najis itu berbekas atau berpengaruh pada binatang tersebut seperti rasa dagingnya yang berubah, aromanya yang tidak sedap, warnanya berubah karena pengaruh najisnya, timbulnya penyakit tertentu atau pengaruh yang lain, maka hewan yang seperti ini masuk ke kategori jallālah yang dilarang sebagaimana disebutkan di dalam hadiṡ, karenanya tidak boleh memakan dagingnya, telurnya, meminum susunya serta tidak boleh mengendarainya.
Al-Kasani berkata: “Menjadi jallālah ketika ada perubahan dan terdapat aroma busuk padanya, jika demikian maka hewan tersebut adalah jallālah, susunya tidak boleh diminum dan dagingnya tidak boleh dimakan.”[12]Badāi’ Ash-Shanāi’ (5/40)
Imam Ibrahim Al-Harbi berkata: “Dilarang meminum susunya sebab orang yang mengonsumsinya akan mendapati rasa dari apa yang dimakan oleh binatang tersebut, demikian juga pada dagingnya. Dilarang mengendarainya sebab binatang tersebut berkeringat dan aroma apa yang dimakannya tercium pada keringatnya, sementara orang yang mengendarainya tidak mungkin tidak akan terkena keringatnya, atau mencium aromanya, namun jika penunggangnya bisa menghindari hal tersebut maka boleh baginya mengendarainya tetapi tetap tidak boleh meminum susunya atau memakan dagingnya, kecuali binatang tersebut diproses hingga dapat menghilangkan bekas najisnya.”[13]Gharību Al-Hadīṡ (1/115)
Mayoritas pakannya berasal dari benda najis, akan tetapi tidak tampak pengaruh najis tersebut pada daging dan aromanya, apakah ini termasuk jallālah?
Menurut mazhab Hanabilah bahwa itu termasuk jallālah, karena jallālah menurut mereka adalah hewan yang mayoritas pakannya berasal dari benda najis, tanpa melihat apakah pengaruh najisnya tampak atau tidak.
Ibnu Qudamah berkata: “Jika mayoritas pakannya berasal dari benda najis maka haram daging dan susunya, adapun tentang telurnya maka terdapat 2 riwayat yang berbeda. Namun jika mayoritas pakannya suci maka tidak haram dagingnya demikian pula susunya.”[14]Al-Mughnī, Ibnu Qudamah (13/328)
Menurut Hanafiyah dan Syafi’iyyah itu tidak termasuk jallālah, karena syarat hewan menjadi jallālah adalah terlihatnya pengaruh pakan najisnya pada daging dan aromanya.
As-Sarakhsi berkata: “Definisi jallālah: Yang biasa memakan bangkai .. sehingga dagingnya berubah menjadi beraroma busuk maka haram untuk dikonsumsi; karena dengan demikian hewan tersebut termasuk khaba’its (makanan yang buruk).. adapun yang dicampur sehingga kadang memakan bangkai dan kadang memakan yang lain di mana tidak terlihat bekasnya pada daging hewan tersebut maka tidak mengapa memakannya.”[15]Al-Mabsūṭ (11/255)
Imam An-Nawawi berkata: “Yang dilihat bukan banyaknya, akan tetapi yang dilihat adalah aroma dan bau busuknya, jika pada keringatnya atau yang lainnya terdapat aroma najis maka itu jallālah, jika tidak maka bukan.”[16]Al-Majmū’ Syarh Al-Muhażżab (9/28)
Al-Juwaini berkata: “Tidak bergantung pada banyak dan tidaknya najis, akan tetapi tergantung pada terciumnya aroma, dan hal itu terlihat saat disembelih.”[17]Nihāyatu Al-Mathlab (18/214)
Pendapat ini diperkuat dengan pernyataan bahwa najis yang berubah menjadi zat lain maka dia tidak memiliki hukum najis, akan tetapi hukumnya baru dianggap ketika najis tersebut telah tampak pengaruhnya.
Al-Baihaqi berkata: “Adanya hadiṡ yang diriwayatkan dari Nabi ﷺ tentang larangan mengonsumsi jallālah, serta pendapat-pendapat ulama tentang hal tersebut bahwa maksudnya adalah ketika aroma kotoran tercium pada dagingnya.”[18]Syu’abu Al-Imān (7/427)
Syaikh Khalid Al-Musyaiqih berkata: “Yang benar dalam permasalahan ini bahwa jika najis membekas pada rasa dagingnya, atau aromanya, atau susunya, atau menyebabkan adanya penyakit tertentu dan hal-hal semacamnya maka itu haram. Adapun jika najis tersebut tidak membekas maka boleh; karena benda-benda najis menjadi suci ketika dia berubah menjadi zat lain, dan dalam hal ini najis-najis tersebut telah berubah menjadi darah, daging, susu dan yang sejenisnya. Inilah yang benar dan yang paling mendekati kebenaran di antara dua pendapat ulama mengenai jallālah.”[19]Fatāwā Syaikh Khālid Al-Musyaiqih (1/89)
Jallālah atau hewan yang diberi pakan najis bisa berubah dari haram atau makruh (ulama berbeda pendapat) menjadi halal jika didiamkan/diisolasi beberapa waktu dan selama itu hanya diberi pakan yang suci saja.
Ibnu Qudamah berkata: “Ulama sepakat bahwa hukum makruhnya menjadi hilang jika didiamkan/diisolasi, akan tetapi terjadi perbedaan pendapat pada durasi waktunya.”[20]Al-Mughnī, Ibnu Qudamah (13/329)
An-Nawawi berkata: “Jika binatang-binatang tersebut didiamkan setelah tampak aroma busuknya, serta diberi makan dengan pakan yang suci hingga kemudian aroma busuknya hilang, kemudian binatang itu disembelih maka tidak ada hukum makruh sama sekali..... Dan jika tidak diberi pakan dengan yang suci maka larangan mengonsumsinya tidak hilang dengan mencuci daging tersebut setelah disembelih, juga tidak hilang dengan memasak daging tersebut walaupun hal itu dapat menghilangkan aromanya. ”[21]Al-Majmū’ Syarh Al-Muhażżab (9/29)
Ibnu Taimiyah berkata: “Jallālah yang memakan najis telah dilarang oleh Rasulullah ﷺ untuk diminum susunya, jika didiamkan selama 3 hari sampai bersih maka jallālah itu halal, orang-orang muslim sepakat akan hal itu; karena sebelum didiamkan selama 3 hari pengaruh najis tampak di susunya, telurnya, dan keringatnya sehingga tercium aroma najis yang busuk, jika pengaruh najis tersebut hilang maka jallālah tersebut akan kembali suci; karena sebuah hukum jika ditetapkan karena adanya illah maka hukum tersebut akan hilang seiring hilangnya illah.”[22]Majmū’ Al-Fatāwā, 21/618)
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Yang dilihat dalam bolehnya memakan jallālah adalah hilangnya aroma najis setelah diberi makan dengan pakan yang suci menurut pendapat yang sahih.”[23]Fathu Al-Bārī (9/648)
Hal ini karena illah larangan mengonsumsi jallālah adalah adanya pengaruh najis dari pakannya. Dan mendiamkannya selama masa tertentu dengan memberinya pakan yang suci membuat illah larangannya menjadi hilang, dan sebuah hukum yang ditetapkan karena adanya illah maka hukum tersebut pun hilang seiring hilangnya illah.[24]Majmū’ Al-Fatāwā, 21/618), Kassyāf Al-Qinā' (6/194)
Ulama berbeda pendapat tentang berapa lama jallālah didiamkan/diisolasi sembari diberi pakan yang suci sampai akhirnya boleh dikonsumsi.
Beberapa ulama memberikan durasi tertentu, sebagian dari mereka ada yang menentukan untuk unta dan sapi selama 40 hari, untuk kambing 7 hari, dan untuk ayam 3 hari.
Sebagian yang lainnya menentukan 3 hari untuk ayam, 4 hari untuk kambing, dan untuk unta serta sapi 10 hari.
Namun pendapat yang rajih bahwa tidak ada batasan waktu tertentu dalam mendiamkan hewan tersebut sampai akhirnya bisa dikonsumsi, yang dilihat bukanlah lama waktu binatang itu didiamkan akan tapi yang dilihat adalah hilang tidaknya bekas najis pada binatang tersebut, ini merupakan pendapat Hanafiyah[25]Al-Mabsūṭ (11/256) , Syafi’iyyah[26]Al-Majmū’ Syarh Al-Muhażżab (9/29) dan pendapat yang dipilih oleh Ibnu Hazm[27]Al-Muhallā (6/85) .
As-Sarakhsi berkata: “Yang lebih sesuai bahwa binatang tersebut didiamkan sampai aroma busuk hilang darinya; karena hal itulah yang menjadi penyebab haramnya dan hal itu merupakan sesuatu yang dapat diindra, maka tidak ada ketentuan waktu dalam hal itu karena setiap binatang berbeda-berbeda.”[28]Al-Mabsūṭ (11/256)
Imam An-Nawawi berkata: “Tidak ada batasan dan ketentuan waktu berapa lama binatang itu ditahan dan diberi pakan yang suci, akan tetapi yang dilihat adalah pengetahuan kita atau zhann kita tentang kapan biasanya aroma najis itu hilang.”[29]Al-Majmū’ Syarh Al-Muhażżab (9/29)
Ulama berbeda pendapat tentang hukum mengonsumsi jallālah sebelum ditahan/didiamkan sembari diberi pakan yang suci saja.
Hukumnya haram, ini adalah salah satu pendapat dalam mazhab Syafi'iyyah[30]Rauḍatu Aṭ-Ṭālibīn (3/278) dan pendapat yang sahih dalam mazhab Hanabilah[31]Al-Inshāf (27/204, 230-231) [32]Syarhu Muntahā Al-Iradāt (3/411) , pendapat Ash-Shan'ani[33]Subulu As-Salām (2/513) , Asy-Syaukani [34]As-Sabīlu Al-Jarrār (728), Nailu Al-Auṭār (8/140) , dan yang difatwakan oleh Al-Lajnah Ad-Da'imah.[35]Fatāwā Al-Lajnah Ad-Dā'imah (22/301)
Makruh hukumnya memakan dagingnya, meminum susunya, serta menungganginya. Ini adalah pendapat Hanafiyah[36]Badāi’ Ash-Shanāi’ (5/40) , salah satu pendapat dalam mazhab Syafi’iyyah[37]Mughnī Al-Muhtāj (6/155) dan yang dipilih oleh imam An-Nawawi[38]Al-Majmū’ Syarh Al-Muhażżab (9/30) , serta salah satu riwayat dari imam Ahmad.[39] Al-Inshāf (27/205)
Al-Khattabi berkata: “Makruh memakan dagingnya, meminum susunya sebab alasan kebersihan; hal itu karena jika dikonsumsi akan didapati aroma busuk pada dagingnya.”[40]Ma’ālimu As-Sunan (4/244)
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Sekelompok Syafi’iyyah dan mazhab Hanabilah mengatakan bahwa larangan dalam hadiṡ tersebut menunjukkan hukum haram, dan itu yang ditegaskan oleh Ibnu Daqiq Al-'Eid dari golongan fuqaha. Pendapat ini yang dinyatakan sahih oleh Abu Ishaq Al-Marwazi, Al-Qaffal, Imam Al-Haramain, Al-Baghawi, dan Al-Ghazali. Mereka juga mengategorikan telur sama seperti susu dan dagingnya.”[41]Fathu Al-Bārī (9/648) [42]Islamqa.info
والله تعالى أعلى وأعلم
↲1 | Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (4/270) No. 1825, dia menyatakan hadiṡ ini sahih, imam An-Nawawi juga menyatakan hadiṡ ini sahih, Ibnu Hajar berkata dalam Fathu Al-Bārī (9/649): “Memenuhi syarat imam Al-Bukhari”, dan Al-Albani juga mengatakan hadiṡ ini sahih |
---|---|
↲2 | Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (4/270) No. 1824, Al-Albani dalam kitab Shahīh Sunan At-Tirmidzī menyatakan hadiṡ ini sahih. |
↲3 | Diriwayatkan oleh An-Nasa’i (7/239) No. 4447, Ibnu Hajar dalam Fathul Bārī (9/648) menyatakan hadiṡ ini hasan, demikian juga Al-Albani menyatakan hadiṡ ini hasan dalam kitab Shahīh Sunan An-Nasa’ī |
↲4 | Al-Inshāf (27/230), Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah (8/266) |
↲5 | Gharību Al-Hadīṡ, Al-Qasim bin Sallam (1/78), Gharību Al-Hadīṡ, Ibnu Qutaibah (1/276) |
↲6 | Sunan Abi Daud (3/336) No. 3719 |
↲7 | Al-Muhallā (6/85) |
↲8 | Masā’il Al-Imām Ahmad, riwayat Abu Daud (345) |
↲9 | Tahrīr Alfāzhu At-Tanbīh (170) |
↲10 | Ma’ālimu As-Sunan (4/244) |
↲11 | Syarh Riyāḍu Ash-Shālihīn (6/434) |
↲12 | Badāi’ Ash-Shanāi’ (5/40) |
↲13 | Gharību Al-Hadīṡ (1/115) |
↲14 | Al-Mughnī, Ibnu Qudamah (13/328) |
↲15 | Al-Mabsūṭ (11/255) |
↲16 | Al-Majmū’ Syarh Al-Muhażżab (9/28) |
↲17 | Nihāyatu Al-Mathlab (18/214) |
↲18 | Syu’abu Al-Imān (7/427) |
↲19 | Fatāwā Syaikh Khālid Al-Musyaiqih (1/89) |
↲20 | Al-Mughnī, Ibnu Qudamah (13/329) |
↲21 | Al-Majmū’ Syarh Al-Muhażżab (9/29) |
↲22 | Majmū’ Al-Fatāwā, 21/618) |
↲23 | Fathu Al-Bārī (9/648) |
↲24 | Majmū’ Al-Fatāwā, 21/618), Kassyāf Al-Qinā' (6/194) |
↲25 | Al-Mabsūṭ (11/256) |
↲26 | Al-Majmū’ Syarh Al-Muhażżab (9/29) |
↲27 | Al-Muhallā (6/85) |
↲28 | Al-Mabsūṭ (11/256) |
↲29 | Al-Majmū’ Syarh Al-Muhażżab (9/29) |
↲30 | Rauḍatu Aṭ-Ṭālibīn (3/278) |
↲31 | Al-Inshāf (27/204, 230-231) |
↲32 | Syarhu Muntahā Al-Iradāt (3/411) |
↲33 | Subulu As-Salām (2/513) |
↲34 | As-Sabīlu Al-Jarrār (728), Nailu Al-Auṭār (8/140) |
↲35 | Fatāwā Al-Lajnah Ad-Dā'imah (22/301) |
↲36 | Badāi’ Ash-Shanāi’ (5/40) |
↲37 | Mughnī Al-Muhtāj (6/155) |
↲38 | Al-Majmū’ Syarh Al-Muhażżab (9/30) |
↲39 | Al-Inshāf (27/205) |
↲40 | Ma’ālimu As-Sunan (4/244) |
↲41 | Fathu Al-Bārī (9/648) |
↲42 | Islamqa.info |