Pertanyaan:
Jika seorang imam shalat dalam kondisi berhadats karena lupa atau tidak tahu, sementara makmum juga tidak ada yang mengetahui dan baru mengetahui setelah selesai shalat, apakah shalat makmum sah atau tidak sehingga perlu mengulang?
Jika seorang imam lupa atau tidak tahu bahwa dirinya dalam kondisi berhadats saat shalat dan menjadi imam, kemudian di tengah-tengah shalat dia tahu atau ingat maka dia harus menghentikan shalatnya sementara makmum terus melanjutkan shalatnya, baik dengan imam yang baru atau masing-masing menyempurnakan shalatnya sendiri-sendiri jika tidak ada yang menggantikan imam[1]Fatāwā Nūr ‘alā Ad-Darb. Demikian juga jika imam menyadari hal tersebut setelah selesai shalat, maka ulama sepakat bahwa imam wajib mengulang shalatnya kembali[2]Majmū’ Al-Fatāwā (22/99) . Lalu bagaimana dengan makmumnya, apakah makmum juga wajib mengulang shalatnya? Dalam hal ini ulama berbeda pendapat:
Hanya imam yang wajib mengulang, sedangkan shalat para makmum hukumnya sah dan tidak perlu mengulang. Ini adalah pendapat imam Malik[3]Asy-Syarhu Al-Kabīr li Ad-Dardīr Hāsyiyatu Ad-Dasūqī (1/124) , imam Asy-Syafi’i[4]Al-Majmū’ Syarh Al-Muhażżab (4/256) salah satu riwayat dari imam Ahmad yang kemudian dipilih oleh mayoritas Hanabilah, serta pendapat Al-Hasan Al-Bashri, Al-Auza’i, Abu Tsaur dan lainnya[5]Al-Mughnī, Ibnu Qudamah (2/73) .
Ibnu Qudamah berkata: “Jika seorang imam shalat dengan jamaahnya dalam keadaan berhadats atau junub, dia tidak tahu bahwa dirinya berhadats, dia dan para makmum tidak ada yang mengetahui dan menyadari sampai selesai shalat, maka shalat mereka (para makmum) sah dan shalat imam tersebut tidak sah, pendapat ini diriwayatkan dari Umar, Utsman, Ali, Ibnu Umar radliyallahu ‘anhum, ini adalah pendapat Al-Hasan, Said bin Jubair, Malik, Al-Auza’i, dan Asy-Syafi’i.”[6]Al-Mughnī, Ibnu Qudamah (2/73)
Adanya kesepakatan dari para sahabat radliyallahu ‘anhum di mana diriwayatkan bahwa Umar bin Al-Khattab radliyallahu ‘anh menjadi imam shalat subuh bagi orang-orang, lalu dia keluar ke tebing dan menuangkan air di sana, kemudian dia mendapati bekas mani pada pakaiannya, beliau pun mengulang shalatnya sedangkan orang-orang yang menjadi makmumnya tidak mengulang shalat mereka.
Serta adanya riwayat yang mengatakan bahwa Utsman menjadi imam shalat subuh bagi orang-orang, dan ketika sudah pagi serta hari mulai terang dia melihat ada bekas janabah, dia pun berkata: “Demi Allah aku sudah tua, demi Allah aku sudah tua.” Kemudian dia mengulang shalatnya dan dia tidak menyuruh orang-orang untuk mengulang shalatnya.
Kemudian riwayat dari Ali bin Abi Thalib bahwasanya dia berkata: “Jika seorang yang junub shalat menjadi imam bagi suatu kaum dan dia menyelesaikan shalat bersama mereka maka aku akan menyuruhnya mandi dan mengulang, dan aku tidak akan menyuruh mereka (para makmum) mengulang.”
Dan riwayat dari Ibnu Umar bahwasanya dia menjadi imam shalat subuh bagi orang-orang kemudian dia ingat bahwasanya dia shalat dalam keadaan belum berwudlu maka dia pun mengulang shalatnya dan orang-orang tidak ada yang mengulang.
Semua riwayat di atas diriwayatkan oleh Al-Atsram dan semua riwayat itu sangat terkenal serta tidak ada riwayat akan adanya orang yang menyelisihi sehingga jadilah itu ijma’.
Setelah itu adanya riwayat dari Al-Barra’ bin Azib yang disampaikan oleh Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni bahwasanya Nabi ﷺ bersabda: “Jika seorang yang junub shalat menjadi imam bagi satu kaum, maka dia harus mengulang shalatnya, sementara shalat mereka sudah sempurna.[7]Al-Mughnī, Ibnu Qudamah (2/73-74)
Makmum juga wajib mengulang sebagaimana imam juga wajib mengulang. Ini adalah pendapat Ibnu Sirin, Asy-Sya’bi, Imam Abu Hanifah dan para pengikutnya[8]Fathu Al-Qadīr, Ibnu Al-Humam (1/374) , salah satu riwayat dari imam Ahmad dan merupakan riwayat yang dipilih oleh Abu Al-Khattab.[9]Majmū’ Al-Fatāwā (23/371) Setiap kekurangan yang terjadi dalam shalat imam maka kekurangan tersebut pun berlaku bagi para makmum karena sah atau tidaknya shalat makmum bergantung pada keabsahan shalat imam, jika shalat imam sah maka shalat makmum sah kecuali ada penghalang lain pada makmum yang menjadikan shalatnya tidak sah, dan ketika shalat imam tidak sah maka shalat makmum pun tidak sah[10]Hāsyiyah Ibni Abidin (1/591) .
Perbedaan pendapat di atas berlaku pada situasi makmum tidak mengetahui bahwa imamnya dalam kondisi berhadats, ada pun jika makmum mengetahui maka ulama sepakat bahwa makmum juga harus mengulang shalatnya, jika sebagian yang mengetahui dan sebagian yang lain tidak mengetahui maka yang wajib mengulang hanya yang mengetahui[11]Hāsyiyah Ibni Abidin (1/591), Al-Majmū’ Syarh Al-Muhażżab (4/256), Al-Mughnī, Ibnu Qudamah (2/74) .
Syaikhul Islam Ibnu Taimiah[12]Majmū’ Al-Fatāwā (22/99) , Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz[13]Majmū' Fatāwā wa Maqālāt Mutanawwi'ah (29/60) , Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin[14]Fatāwā Nūr ‘alā Ad-Darb (8/2) dan beberapa ulama masa kini lainnya, serta fatwa Al-Lajnah Ad-Dā'imah[15]Fatāwā Al-Lajnah Ad-Dā'imah (6/266) menguatkan pendapat pertama yang mengatakan bahwa shalat para makmum sah dan tidak perlu mengulang.
Ibnu Taimiah berkata: "Jika para makmum tidak mengetahui bahwa imam shalat dalam kondisi berhadats maka mereka tidak wajib mengulang menurut pendapat mayoritas ulama."[16]Majmū’ Al-Fatāwā (22/99)
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz berkata: "Jika seseorang shalat menjadi imam bagi orang-orang kemudian dia menyadari bahwasanya dia dalam keadaan berhadats atau bahwa thaharahnya tidak sah maka shalat para makmum tersebut tetap sah."[17]Majmū' Fatāwā wa Maqālāt Mutanawwi'ah (29/60)
Al-Lajnah Ad-Dā'imah berkata: "Ada pun makmum yang shalat di belakangmu maka dia tidak perlu mengulang."[18]Fatāwā Al-Lajnah Ad-Dā'imah (6/266)
والله تعالى أعلى وأعلم.
↲1 | Fatāwā Nūr ‘alā Ad-Darb |
---|---|
↲2 | Majmū’ Al-Fatāwā (22/99) |
↲3 | Asy-Syarhu Al-Kabīr li Ad-Dardīr Hāsyiyatu Ad-Dasūqī (1/124) |
↲4 | Al-Majmū’ Syarh Al-Muhażżab (4/256) |
↲5 | Al-Mughnī, Ibnu Qudamah (2/73) |
↲6 | Al-Mughnī, Ibnu Qudamah (2/73) |
↲7 | Al-Mughnī, Ibnu Qudamah (2/73-74) |
↲8 | Fathu Al-Qadīr, Ibnu Al-Humam (1/374) |
↲9 | Majmū’ Al-Fatāwā (23/371) |
↲10 | Hāsyiyah Ibni Abidin (1/591) |
↲11 | Hāsyiyah Ibni Abidin (1/591), Al-Majmū’ Syarh Al-Muhażżab (4/256), Al-Mughnī, Ibnu Qudamah (2/74) |
↲12 | Majmū’ Al-Fatāwā (22/99) |
↲13 | Majmū' Fatāwā wa Maqālāt Mutanawwi'ah (29/60) |
↲14 | Fatāwā Nūr ‘alā Ad-Darb (8/2) |
↲15 | Fatāwā Al-Lajnah Ad-Dā'imah (6/266) |
↲16 | Majmū’ Al-Fatāwā (22/99) |
↲17 | Majmū' Fatāwā wa Maqālāt Mutanawwi'ah (29/60) |
↲18 | Fatāwā Al-Lajnah Ad-Dā'imah (6/266) |